Sunday, October 30, 2011

Andai kau tahu siapa aku sebenarnye..........

Oleh: Abul Miqdad al-Madany
Betapa sering kita merasa bangga ketika melihat begitu banyak orang yang membutuhkan kita. Saat kita menyaksikan orang-orang berkumpul di sekeliling kita, betapa bangganya jiwa ini. Padahal orang-orang itu sesungguhnya tidak mengetahui siapa dan bagaimana diri kita sesungguhnya (dan kita menyadari hal itu). Dan yang membuat segalanya menjadi semakin parah, kita pun seperti selalu berusaha menampilkan berbagai bentuk dan rupa kepalsuan. Menampilkan kekhusyu’an padahal sesungguhnya tidak khusyu’. Berlagak seperti ahli dzikir, padahal hati selalu lalai mengingat ALLAH.. Dan orang itu bukan siapa-siapa, dialah kita.

Kaum shaleh terdahulu yang hampir tidak bisa diragukan lagi keshalehannya seringkali mengungkapkan kekhawatirannya akan dirinya sendiri. Mereka sangat khawatir amal mereka tidak diterima oleh ALLAH. Mereka masih saja berperilaku seolah-olah merekalah para penghuni Neraka. Jilatan dan kobaran api Neraka seperti begitu dekat..
Padahal sesungguhnya bila kita mengerti, kita sama sekali tidak perlu heran. Itulah tanda utama keshalehan hamba. Bila engkau selalu merasa khawatir amalmu tidak diterima, maka bersyukurlah. Sebab terlalu banyak manusia memandang ALLAH sebagai Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, namun lupa bahwa Ia juga Maha Perkasa dan Maha dahsyat siksaan-NYA. Saat ia tenggelam dalam kemaksiatan dan kedurhakaan, ia membayangkan bahwa ALLAH itu Maha Pengampun, dan lupa bahwa ALLAH tidak menyukai dan akan menghukum para pendurhaka. Dan lagi-lagi orang itu bukan siapa-siapa, dia adalah diri kita sendiri.
Semakin shaleh dan dekat seorang hamba dengan ALLAH, semakin takut dan khawatirlah ia bila cintanya ditolak oleh Sang Kekasih. Dan semakin durjana seorang makhluk, semakin optimislah bahwa kedurjanaannya itu pasti diampuni oleh ALLAH. Padahal ia tidak mengantongi secuil jaminan pun akan hal itu. Sangat jauh berbeda dengan sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang jelas-jelas telah ‘mengantongi’ jaminan masuk Surga. Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar al-Faruq dan ‘Utsman ibn ‘Affan, adalah beberapa sahabat yang telah ‘mengantongi’ jaminan itu. Tapi jaminan itu tidak membuat mereka berleha-leha dalam beribadah, bahkan justru semakin membuat mereka semakin meluap-luap untuk berjumpa dengan Rabb mereka. Duhai, alangkah pandirnya kita..
Suatu ketika, Jubair ibn Nufair mendengarkan do’a yang diucapkan oleh shahabat mulia Abu ad-Darda’ ra. di akhir shalatnya. Anda tahu do’a apa yang beliau panjatkan? ‘Audzubillahi minan nifaq (Aku berlindung kepada ALLAH dari sifat munafik). Ya, seorang sahabat seperti Abu ad-Darda’ begitu takut terhadap kemunafikan. Itulah sebabnya, -masih menurut penuturan Jubair ibn Nufair- beliau mengulang-ulangi do’a itu.
“Duhai tuan, ada apa antara Anda dengan kemunafikan?” tanya Jubair kepadanya.
“Sudahlah, engkau tidak usah mencampurinya. Demi ALLAH! Sesungguhnya seseorang itu dapat berubah-ubah dan berbolak-balik agamanya dalam satu jam, hingga akhirnya agama itu tercabut darinya!” jawab Abu ad-Darda’
Seorang ‘alim bernama Yusuf ibn Ahmad Asy-Syairazy mengisahkan tentang salah seorang gurunya yang dikenal dengan Abul Waqt. Sang guru ini dikenal sebagai salah satu ahli hadits yang telah melakukan pengembaraan panjang untuk menyelami hadits-hadits Rasulullah saw. Ia bahkan digelari sebagai ruhlah ad-dunya (sang pengembara dunia). Simaklah penuturan Yusuf Asy-Syairazy tentang gurunya yang satu ini:
“… ALLAH akhirnya menakdirkan aku bertemu dengan beliau di negeri bernama Kirman. Saat aku pertama berjumpa, kuucapkan salam kepadanya lalu aku mencium (kepala atau pundak)nya. Kemudian aku duduk bersimpuh di hadapan beliau. Tidak berapa lama kemudian, berliau bertanya kepadaku: “Apa yang membuatmu datang ke negeri ini?” Aku menjawab: “Engkaulah yang menjadi maksudku, Tuanlah sandaranku setelah ALLAH Ta’ala, aku telah menulis hadits-hadits yang engkau riwayatkan dengan penaku, namun aku tetap berusaha menemui Tuan dengan kedua kakiku agar aku bisa mendapatkan keberkahan nafas-nafas Tuan dan mendapat sanad Tuan yang lebih tinggi.” Beliau kemudian berkata: “Semoga ALLAH memberikan taufiq dan keridhaan kepadku dan kepadamu. Semoga Ia menjadikan segala upaya kita adalah karena-NYA. Semoga Ia menjadikan tujuan kita hanyalah pada-NYA. Duhai, seandainya saja engkau mengetahui aku dengan sebenar-benarnya, niscaya engkau tidak akan mau mengucapkan salam padaku. Niscaya engkau tidak akan sudi duduk di hadapanku…”
Beliaupun menangis. Lama sekali. Hingga membuat semua yang hadirpun turut menangis. Lalu beliau melanjutkan ucapannya, “Ya ALLAH! Tutupilah aib-aib kami dengan perlindungan-MU yang Maha Indah, dan jadikanlah apa yang ada di bawah perlindungan-MU itu sesuatu yang Engkau ridhai untuk kami…”
Itulah yang dikatakan oleh sang ‘alim pengembara dunia. Lalu apakah gerangan yang patut kita ucapkan dengan segala kelalaian kita? Katakanlah kepada siapa pun yang mencoba mengagumi dan memuji kita: “Saudaraku, andai engkau tahu siapa aku sebenarnya…” Lalu tangisilah diri sendiri…
Demikianlah salah satu nilai penting yang diwariskan generasi salaf kepada kita. Kesadaran dan kepekaan terhadap diri sendiri. Jangan pernah menjadi ‘ujub dan kagum pada diri sendiri. Intinya, tahu dirilah!